JAKARTA- Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi melarang ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023. Keputusan tersebut diambil berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu; pertama, Jokowi ingin meningkatkan nilai tambah bagi ekonomi dalam negeri.
Kedua, meningkatkan penciptaan lapangan kerja baru. Ketiga, meningkatkan penerimaan devisa. Keempat, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di Indonesia.
"Mulai Juni 2023 pemerintah akan melarang ekspor bijih bauksit. Saya ulang mulai Juni 2023, pemerintah akan memberlakukan pelarangan ekspor bijih bauksit dan mendorong pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri," kata Jokowi di Istana Negara, Rabu (21/12/2022).
Menurut Kepala Negara RI itu, larangan ekspor bauksit juga dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat dari kebijakan larangan ekspor nikel yang berlaku sejak Januari 2020, di mana memberikan manfaat besar untuk ekonomi dalam negeri.
Jokowi mengatakan sebelum larangan ekspor nikel mentah berlaku, nilai perdagangan yang diraih Indonesia dari penjualan produk tersebut hanya US$1,1 miliar alias Rp17 triliun.
Namun, usai larangan ekspor berlaku dan nikel diolah di dalam negeri, nilai ekspor dari bahan mentah itu melonjak 19 kali lipat menjadi US$20,9 miliar atau Rp326 triliun.
Mantan Walikota Solo itu juga memprediksi pendapatan negara bisa meningkat hingga tiga kali lipat menjadi Rp62 triliun berkat larangan ekspor bijih bauksit.
"Dari industrialisasi bauksit di dalam negeri kami perkirakan pendapatan negara akan meningkat dari Rp21 triliun menjadi kurang lebih sekitar Rp62 triliun," tutur Jokowi.
Merespons hal tersebut, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai Presiden Jokowi konsisten dengan tekadnya untuk melarang ekspor hasil tambang dan mineral tanpa hilirisasi di dalam negeri.
Ia menganggap hasil hilirasi akan mendorong pengolahan produk turunan bijih bauksit yang bakal menaikkan nilai tambah dan memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia.
"Saya belum menyusun angka (pendapatan negara), tetapi setuju dengan angka-angka perkiraan yang disampaikan Jokowi," kata Fahmy Radhi, Rabu (21/12/2022).
Fahmy menilai Indonesia bakal tersandung fakta bahwa kapasitas hilirisasi masih belum memadai. Meski begitu, kebijakan larangan ekspor bijih bauksit ini akan memaksa pengusaha untuk membangun fasilitas hilirisasi dan mendorong masuknya investor.
Di lain sisi, kebijakan larangan ekspor bijih bauksit juga dipandang akan menuai perlawanan dari negara-negara importir yang berujung gugatan di organisasi perdagangan dunia (WTO). Hal serupa sudah lebih dahulu menimpa Indonesia imbas larangan ekspor bijih nikel.
Kendati, menurutnya, resistensi Barat harus dilawan meskipun Indonesia pada akhirnya kalah dalam gugatan di WTO. Terlebih, proses persidangan di WTO sampai keputusan final membutuhkan waktu sekitar 4 tahun.
"Selama 4 tahun, larangan ekspor tetap dilakukan hingga menghasilkan ekosistem hilirisasi dan produk-produk turunan yang memberikan nilai tambah lebih besar ketimbang ekspor bijih bauksit," jelas Fahmy.
Menurutnya, Presiden Jokowi harus berani melarang ekspor hasil tambang dan mineral lain untuk menaikkan nilai tambah. Fahmy menyarankan dalam waktu dekat sebaiknya pemerintah juga melarang ekspor bijih tembaga, perak, dan emas.
Sementara itu, Direktur Kajian Agraria Center of Economic and Law Studies (CELIOS) MHD Zakiul Fikri mengatakan Indonesia bisa mendulang beberapa manfaat jika kebijakan ini berhasil.
Jika berjalan dengan baik, maka akan meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk galian mineral berupa bauksit, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara.
Bicara tantangan yang bakal dihadapi Indonesia, Fikri menjelaskan setidaknya ada dua tantangan utama. Pertama, dalam bentuk kebijakan politik-hukum dan kedua dalam bentuk ekonomi.
Terlepas dari kebijakan ini yang menjadi implementasi prinsip nasionalitas atau kedaulatan negara, bisnis pertambangan mineral jenis bauksit merupakan bisnis yang terhubung dengan ekonomi global.
"Jadi, intervensi organisasi di tingkat internasional akan menjadi tantangan utama dalam proses perumusan serta implementasi kebijakan larangan ekspor. Seperti kasus larangan ekspor nikel, intervensi Uni Eropa dan WTO cukup kuat menentang kebijakan tersebut," jelasnya.
Ia menyarankan pemerintah perlu mempelajari dengan cermat mengenai konvensi, protokol, ataupun kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat di level internasional.
Selain itu, pemerintah harus mampu mencari celah untuk meyakinkan dunia internasional bahwa kebijakan ini tidak bertentangan dengan kesepakatan internasional yang telah disepakati dan diberlakukan Indonesia.
Kedua, tantangan ekonomi. Fikri mengatakan industri hilir bauksit adalah industri padat modal yang memerlukan pabrik dan orang-orang yang menjalankannya.
"Oleh karena itu, pemerintah Indonesia bersama pelaku usaha dan ahli ekonomi harus bisa merumuskan skema terbaik tentang manajemen sumber daya manusia, sumber daya finansial, dan peluang hadirnya investor di industri hilir bauksit," tutur Fikri.
Jika tidak dapat berjalan dengan baik, Fikri menilai kebijakan larangan bijih bauksit ini hanya akan menjadi gunung salju bagi perekonomian Indonesia.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan juga menilai kebijakan larangan ekspor bijih bauksit sangat bagus, sesuai dengan apa yang dicita-citakan di mana kekayaan alam RI digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Ia menegaskan dengan adanya hilirisasi maka Indonesia tidak lagi menjual 'tanahnya' ke luar negeri. Hilirisasi ini juga bisa memberikan multiplier effect bagi perekonomian nasional.
Kendati, Mamit menyoroti beberapa hal, antara lain; apakah industri dalam negeri siap untuk menerima kebijakan ini, bagaimana infrastruktur terkait termasuk smelter, hingga kesiapan pasar dalam negeri menyerap semua produk hilirisasi bauksit.
"Jangan sampai nanti ketika semuanya belum siap akan membuat industri bauksit dalam negeri berhenti dan justru berdampak buruk bagi perekonomian nasional, di mana banyak tambang bauksit yang akan berhenti beroperasi dan melakukan PHK karena di dalam negeri belum siap menerima," jelas Mamit.
Apalagi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia saat ini baru memiliki 4 smelter untuk melakukan proses pemurnian bauksit.
Mamit meragukan jumlah dan kapasitas smelter yang terbatas bisa mendukung kebijakan ini. Ia juga tak yakin apakah investasi yang mahal bakal menarik investor untuk membangun smelter di Tanah Air.
"Investasi smelter yang mahal apakah tetap menarik bagi pengusaha di tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak pasti ini? Jangan sampai bauksit kita akhirnya tidak bisa dimanfaatkan secara optimal," tegasnya.
Di lain sisi, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai potensi keuntungan dari kebijakan ini bergantung pada beberapa hal, termasuk produk hilirisasi seperti apa yang diharapkan dihasilkan dari bijih bauksit.
Menurutnya, semakin ke hilir, produk yang dihasilkan dari bijih bauksit berpeluang meningkatkan nilai ekspor yang lebih besar dan membuka lebar keran keuntungan Indonesia.
"Jika berkaca pada proses kebijakan hilirisasi nikel, terjadi beberapa penyesuaian kebijakan sebelum settle. Saya proyeksikan untuk bauksit pun demikian, akan ada beberapa penyesuaian kebijakan sebelum kebijakan ini berjalan secara optimal," ujarnya.
Yusuf juga menilai tantangan yang bakal dihadapi Indonesia adalah mendorong penambahan pembangunan smelter.
Namun, ia tak khawatir jika melihat progres dari kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang lebih dulu diberlakukan. Memang belum banyak smelter yang dibangun di awal, tetapi jumlah smelter bertambah seiring berjalannya waktu.
"Oleh karena itu, tantangan menambah jumlah investasi di smelter menjadi salah satu tantangan utama dari pelarangan ekspor bijih bauksit ini. Kombinasi pemberian insentif dan menjaga iklim investasi, terutama di daerah tujuan smelter bauksit nanti," saran Yusuf.
Jika bicara jangka pendek, Yusuf menyarankan pemerintah fokus pada kebijakan hilirisasi bauksit. Setelah itu, pemerintah bisa mulai memikirkan untuk melakukan hilirasi atau pelarangan ekspor bijih tambang lainnya.
0 comments:
Post a Comment