SEMARANG- Banjir bandang beberapa kali melanda Kota Semarang. Tak hanya menggenangi permukiman, banjir juga membuat sejumlah nyawa melayang.
Sejarah mencatat, sejak tahun 1922, terjadi lima kali banjir bandang di Kota Lumpia.
Ini terlihat dari catatan Monumen Banjir yang ada di sisi timur pintu air Bendung Simongan atau bendungan Pleret. Bendungan ini menjadi pembatas antara Kaligarang dan Kali Semarang.
Monumen tersebut cukup sederhana, berupa grafik deretan garis-garis merah dengan angka yang menunjukkan tanggal kejadian serta ketinggian banjir.
Namun, beberapa warna dari angka-angka yang dicetak tersebut mulai pudar, seperti ingatan warga yang mulai menghilang tentang banjir bandang.
Koordinator Pintu Air Bendung Simongan, Bayu Wanapati menuturkan, angka yang masih terlihat hanya dua kejadian banjir yaitu "10.1.1963" dan "28.3.1922". "Itu saja yang masih terlihat. Angka lainya sudah hilang," paparnya.
Bayu mengatakan, tak tahu pasti kapan penanda monumen banjir bandang Kota Semarang dibuat.
Namun, dia memahami betul arti setiap angka di monumen tersebut lantaran hafal sejarah banjir bandang di Kota Semarang.
Garis paling bawah tertulis angka "25.12.06 + 890". Di atasnya, kemudian berturut-turut "22.1.1976.SP+925", "30.1.1993.SP+930", 28.3.1922.SP+930", "10.1.1963.SP+940", dan "25.1.1990.SP+945".
Bayu menjelaskan, angka-angka tersebut menunjukkan arti, banjir terjadi pada 28 Maret 1922, 10 Januari 1963, 22 Januari 1976, 25 Januari 1990, dan 25 Desember 2006.
Sementara, angka tambahan di belakang penanda tanggal merupakan ketinggian air.
Dari monumen tersebut tercatat, banjir terbesar terjadi pada 25 Januari 1990.
Saat itu, Kaligarang meluap dan ketingian air mencapai 945 sentimeter atau hampir 10 meter, dari dasar sungai.
"Banjir itu menjadi tragedi yang menjadi salah satu masa kelam di Kota Lunpia lantaran ratusan orang meninggal dalam sekejap," bebernya.
Dia berharap, andaikan monumen itu hilang, paling tidak sejarah banjir bandang tak dilupakan.
Baginya, yang juga bagian dari penyintas banjir bandang terbesar di Kota Semarang, kejadian itu menjadi pembelajaran bersama terkait pentingnya menjaga alam dan mitigasi bencana.
"Baik warga asli Kota Semarang, maupun siapa saja yang menetap di Kota Semarang, seharusnya tahu terkait sejarah banjir bandang ini dan menjaga Kota Semarang secara bersama-sama," katanya.
Kendati demikian, dia menilai, tragedi banjir bandang Semarang 1990 mustahil terulang.
Alasannya, kawasan Kota Semarang saat ini lebih tertata.
Daerah atas sudah dibangun waduk Jatibarang yang tentunya mengurangi debit air yang mengalir ke sungai di Semarang, semisal Kaligarang dan Kali Semarang.
Sebelum dibangun waduk, air yang masuk ke Bendung Simongan tercatat 1.000 liter per detik.
Kini, debit air lebih rendah dengan jumlah maksimal 750 liter per detik.
"Dalam banjir juga dikenal siklus 15 tahunan. Hal itu pasti ada namun tak akan separah dahulu," katanya.
Dia mengatakan, lebih cenderung percaya dengan momen banjir 2 tahunan. Pengamatan itu dilakukannya sejak 2016.
Secara berkala, dalam jeda 2 tahunan itu, banjir seringkali melanda Kota Semarang, termasuk di tahun 2021.
"Saya mengamati seperti itu. Ada titik elevasi ketinggian air yang persis terjadi di periodik waktu tersebut," tuturnya.
0 comments:
Post a Comment