JAKARTA- Di tengah guncangan ekonomi dunia saat ini, Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan di dalam negeri, mulai dari inflasi, defisit fiskal hingga perkembangan ekonomi digital.
Sarasehan 100 Ekonom yang mengangkat tema 'Normalisasi Kebijakan Menuju Pemulihan Ekonomi Indonesia', Rabu (7/9/2022), telah mencatat berbagai masukan bagi pemerintah dan pemangku kepentingan dari ekonom hingga berbagai pakar ekonomi.
Acara yang digelar di Menara Bank Mega, Jakarta, Rabu (7/9/2022) diprakasai Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) sebagai lembaga think-tank yang bekerja sama dengan CNBC Indonesia.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang membuka acara menyampaikan beberapa poin penting dalam hal ini. Pertama, Jokowi meminta para ekonom dan pemangku kepentingan tidak menggunakan pakem-pakem yang sudah ada, melainkan harus berpikir seperti "Abunawas", di luar kondisi normal.
"Ke arah mana yang belum ketemu. Jangan menggunakan pakem-pakem yang ada, jangan gunakan sesuatu yang standar, karena keadaannya tidak normal, sangat tidak normal, dibutuhkan pemikiran yang Abunawas," tuturnya.
Kedua, Jokowi menilai peran pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah makin sentral. Oleh karena itu, pemerintah berusaha secepat mungkin untuk mendorong mereka bergabung dalam perekonomian digital.
Ketiga, Jokowi membagikan resep khusus kepada kepala daerah dalam menggunakan belanja tak terduga untuk meredam kenaikan inflasi di daerahnya masing-masing.
Jokowi mengatakan, pemerintah daerah bisa melakukan intervensi agar harga pangan tidak ikut terkerek naik imbas dari kenaikan BBM. Cara ini, bahkan pernah dilakukan Jokowi saat dirinya masih menjabat sebagai kepala daerah beberapa tahun lalu.
"Contoh dan saya pernah lakukan, harga bawang merah naik, karena kenaikan biaya transportasi, ya pemda tutup biaya transportasi artinya harga barang merah di pasar sesuai dengan harga di petani karena transport ditutup pemda," kata Jokowi.
Sarasehan ini mengangkat berbagai topik yang dibagi ke dalam dua klaster a.l. Klaster I: Moneter, Perbankan, Keuangan; Klaster II: Fiskal & Pembangunan Daerah; Klaster III: Industri & Perdagangan dan Klaster IV: Energi & Pangan.
Dari klaster pertama, Ekonom Senior INDEF Aviliani mengungkapkan narasumber pada sesi ini menyoroti normalisasi kebijakan fiskal pada 2023. Hal-hal apa yang harus disiapkan oleh pemerintah dan pengusaha serta pemangku kepentingan di Tanah Air.
Menyikapi hal ini, sektor moneter menilai normalisasi tidak bisa dilakukan serta merta. "Harus dilihat kembali apa saja yang masih perlu dipertahankan karena tahun depan kondisi masih buruk. Kita harus mengantisipasinya," kata Aviliani.
"Karena asumsi kita Perpu itu kalau sudah normal, sehingga ada masukan untuk ditinjau kembali," lanjutnya.
Bank Indonesia (BI) menerangkan bahwa kebijakan yang diambil bank sentral selama ini sudah di luar dari pakem yang biasa dijalankan. Dalam hal ini, kebijakan BI diselaraskan dengan perkembangan di dalam dan luar negeri. "Karena kita berbeda dengan negara lain, sehingga treatmentnya juga berbeda," kata Aviliani.
Kemudian, likuditas di dalam negeri sudah diperbaiki. BI perlahan menjual surat utang jangka pendek dan membeli surat utang jangka panjang untuk menjaga likuiditas. Terkait dengan SKB yang dijalankan pemerintah dan BI, ekonom menilai perlu adanya kebijakan lain yang dapat menopang ekonomi Indonesia pada tahun depan.
Pada klaster kedua yang membahas fiskal, Aviliani menerangkan bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan bahwa defisit APBN tidak bisa terus menurus berada di level 3% karena kebijakan ini akan menambah utang.
"Mitigasi risiko ini harus dilakukan sesuai dengan undang-undang keuangan negara," kata Aviliani mengulangi paparan Menteri Keuangan. Melihat kondisi saat ini, Menteri Keuangan mengungkapkan bahwa tidak ada satupun yang bisa memastikan asumsi makroekonomi ke depannya.
Oleh karena itu, menurut Sri Mulyani, pemerintah telah menyiapkan kebijakan untuk menghadapi kondisi yang tidak terduga. Lebih lanjut, ekonom menyoroti anggaran penuntasan kemiskinan dan peran APBD yang dinilai perlu dikaji kembali agar penggunaannya tepat sasaran.
Menteri BUMN Erick Thohir yang turut hadir mendorong isu pengembangan industri. Dia menyampaikan pentingnya pengembangan industri ekonomi digital yang berbasis global value chain.
Ekonom senior Hendri Saparini pun mendukung hal ini. Namun, dia menilai Indonesia harus mampu memperkuat pasarnya terlebih dahulu. Eksekutif Direktur Indef Ahmad Tauhid pun mendukung penguatan kemitraan yang dibangun antara perusahaan besar dan UMKM.
Menurutnya, corporate social responsibility (CSR) dapat didorong untuk mendukung UMKM. Dengan demikian, BUMN tidak menjadi motor penggerak sendiri, tetapi bermanfaat bagi sektor lainnya, termasuk UMKM.
Klaster terakhir membahas sektor pertanian. Dalam klaster ini, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Ekonom Senior INDEF Bustanul Arifin ikut memberikan pandangan. Syahrul mengatakan sektor pertanian saat ini tidak bisa berjalan biasa-biasa lagi.
Ada lima langkah yang dipaparkan Menteri Pertanian, termasuk peningkatan produksi dan peragaman pangan lokal, serta pengembangan BUMD. Sementara itu, Bustanul menuturkan kerja sama daerah jangan sendiri-sendiri.
"Kunci dalam pemenuhan suplai. Jangan G to G tapi lokal dan contract farming kepada pembeli. Jangan dibiarkan petani jalan sendiri," ujar Bustanul.
Menyinggung persoalan energi, klaster keempat ini berkesimpulan mendorong pemerintah dan semua sektor untuk tetap berkomitmen terhadap pengembangan energi terbarukan.
"Jangan sampai di akhir 2060, kita tidak mencapai target (pengurangan emisi) karena itu ada tahapan-tahapan untuk mencapai energi terbarukan," tegas Aviliani.
0 comments:
Post a Comment