JAKARTA- Nilai tukar euro dan poundsterling ambrol melawan dolar Amerika Serikat (AS) di pekan ini, sementara rupiah masih cukup kuat. Bahkan, jika dilihat sepanjang tahun ini, mata uang zona euro dan Inggris tersebut merosot sangat tajam.
Rupiah sepanjang tahun ini memang mengalami pelemahan juga, tetapi bisa dikatakan masih aman. Apa rahasianya?
Melansir data Refinitiv, poundsterling ambruk ke level terlemah dalam 37 tahun terakhir melawan dolar AS pada perdagangan Rabu (7/9/2022). Bahkan, berdasarkan data Refinitiv, posisi poundsterling tidak jauh dari rekor terlemah sepanjang sejarah.
Poundsterling menyentuh US$ 1,1403 yang merupakan level terendah Maret 1985. Sepanjang tahun ini poundsterling jeblok hingga 15%. Rekor terlemah seterling tercatat di US$ 1,0520 yang tercatat pada 26 Februari 1985.
Sebelum Inggris, kurs euro juga terlebih dahulu mengalami 'kiamat'. Selasa lalu euro US$ 0,9862, terlemah sejak Desember 2002.Sepanjang tahun ini euro sudah jeblok sekitar 13% melawan dolar AS.
Mata uang euro secara resmi mulai digunakan dalam bentuk giral pada 1 Januari 1999. Sejak peluncurannya tersebut, nilai euro menurun dan menyentuh level terlemah US$ 0,8225 pada 26 Oktober 2000. Namun,sejak awal 2003, euro sebenarnya tidak pernah berada di bawah level paritas (EUR 1 = US$ 1).
Artinya mata uang 19 negara ini semakin dekat dengan rekor terlemah sepanjang sejarah.
Sementara rupiah sepanjang tahun ini pelemahannya sekitar 4,5%. Di Asia, rupiah menjadi salah satu mata uang dengan pelemahan terkecil.
Pemicu jebloknya euro dan poundsterling yakni outlook perekonomian yang gelap gulita akibat inflasi yang tinggi.
Inflasi di Inggris meroket 10,1% year-on-year (yoy) pada Agustus, tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Penyebabnya apalagi kalau bukan harga energi dan pangan, masalah yang sama dihadapi dunia saat ini.
Inflasi di zona euro tercatat melesat 9,1% (yoy) pada Agustus, yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Dengan nilai poundsterling dan euro yang jeblok, ada risiko inflasi akan semakin tinggi. Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) dan Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) tentunya akan terus agresif menaikkan suku bunga.
Inflasi tinggi akan menggerus data beli masyarakat, apalagi ditambah dengan suku bunga yang tinggi. Ekspansi dunia usaha juga akan terhambat, alhasil resesi semakin nyata.
Berbeda dengan Inggris dan zona euro, inflasi di Indonesia masih relatif terkendali. Badan Pusat Statistik (BPS) di awal bulan ini melaporkan inflasi pada Agustus sebesar 4,69% (yoy) melandai dari bulan sebelumnya 4,94% yang merupakan level tertinggi sejak 2015.
Memang, 'tsunami' inflasi yang melanda di negara-negara Barat terjadi akibat tingginya harga energi, terutama dipicu perang Rusia-Ukraina.
Tetapi, jika melihat sebelum perang terjadi, inflasi sebenarnya sudah merangkak naik. Kebijakan lockdown yang diterapkan guna meredam penyebaran penyakit akibat virus corona (Covid-19) menjadi salah satu pemicu merangkaknya inflasi.
Saat lockdown diterapkan, aktivitas bisnis nyaris mati suri. Saat lockdown mulai dibuka, roda perekonomian berputar lebih kencang, demand meningkat pesat. Sayangnya, akibat lockdown, pesatnya demand tidak mampu diimbangi oleh supply. Alhasil, harga-harga perlahan merangkak naik.
Berbeda dengan Barat, Indonesia tidak menerapkan lockdown. Pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, kemudian berubah menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat.
Kegiatan masyarakat memang dibatasi, tetapi tidak seketat lockdown. Sehingga ketika demand mulai meningkat, supply masih cukup mampu mengimbangi. Inflasi di dalam negeri menjadi lebih terjaga.
Ada cerita menarik dibalik penerapan pembatasan kegiatan masyarakat di Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkap tabir yang mungkin tak banyak diketahui masyarakat selama pandemi Covid-19. Jokowi mengaku sempat melakukan 'semedi' sebelum memutuskan apakah Indonesia mengambil kebijakan lockdown atau tidak.
Berbicara dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, Jokowi awalnya menceritakan bagaimana dunia berubah dengan cepat pasca diterjang pandemi Covid-19. Saat itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang juga kebingungan dalam menentukan kebijakan.
"Saya enggak bisa perkirakan kalau saat itu kita melakukan lockdown," kata Jokowi, seperti dikutip Kamis (8/9/2022).
Jokowi mengakui pada saat itu menghadapi dilema yang cukup besar. Pasalnya, hampir 70 negara di berbagai belahan dunia menempuh kebijakan lockdown sejalan dengan tingginya kasus Covd-19.
80% Jajaran menteri, kata Jokowi, pada saat itu juga telah merekomendasikan kepada Jokowi untuk melakukan lockdown. Bahkan berdasarkan survei yang dilakukan pemerintah, 80% masyarakat juga menginginkan pemerintah melakukan lockdown pada saat itu.
"Tapi saat itu saya semedi. Saya endapkan betul maka bener kita harus melakukan itu," kata Jokowi.
Semedi yang dilakukan Jokowi akhirnya menemui titik cerah. Jokowi memutuskan untuk tidak menempuh kebijakan lockdown, dan lebih memilih melakukan pembatasan kegiatan. Keputusan tersebut akhirnya memberikan dampak yang positif ke perekonomian Indonesia yang tidak mengalami kontraksi sangat dalam, dan inflasi yang lebih terjaga.
0 comments:
Post a Comment